LightBlog

Monday, December 13, 2010

Pers; Berusaha Kritis Tanpa Mencaci (Antara Idealisme Dan Keperawanan)

Sebelum panjang lebar penulis mengutarakan maksud dalam tulisan singkat ini, izinkan penulis mengucapkan “Selamat Ulang Tahun” kepada Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA, yang jatuh pada tanggal 13 Desember sekarang ini.

Ada alasan kenapa di lead tulisan ini penulis mengawali dengan mengucapkan selamat ulang tahun kepada LKBN ANTARA. Salah satu alasannya adalah, dari para senior di ANTARAlah penulis mendpatkan hampir seluruh ilmu tentang dunia pers dan jurnalistik, termasuk bagaimana penulis diajarkan untuk mengkritisi sebuah permasalahan  tanpa harus mencaci apalagi menghujat. Sebab belum tentu seorang yang memberi krtikan dengan hujatan bisa lebih baik dari orang yang di kritik tersebut.

Berdiri tegak, tapi tawadhu, radikal tapi santun, motto itulah yang penulis pakai selama bergabung dengan ANTARA.

Antara Idealisme dan Keperawanan
Dunia pers adalah dunia yang penuh tantangan dimana idealisme kita sebagai seorang jurnalis di pertaruhkan. Sudah banyak yang menjadi korban sehingga idealisme seorang jurnalis dari dalam dirinya hilang karena dipertaruhkan di tengah-tengah kebutuhan dan desakan dari berbagai penjuru.

Sampai-sampai penulis berani menyebutkan, bahwa mempertahankan idealisme ditengah-tengah berbagai macam tuntutan kebutuhan ibarat seorang perempuan yang mempertahankan keperawanannya.

Suatu saat, cepat atau lambat keperawanan perempuan tersebut akan hilang, hilang karena terpaksa atau dipaksa, hilang secara normal atau tidak normal karena desakan tuntutan kebutuhan (terutama kebutuhan ekonomi).

Begitupun idealisme seorang pers/jurnalis. Suatu saat idealismenya tersebut akan luntur bahkan hilang karena dipaksa atau terpaksa, secara normal ataupun tidak normal. Karena kita tidak menjamin bahwa perjalanan seseorang bisa begitu saja lurus dan suci ditengah-tengah desakan kebutuhan, apalagi ketika kita didesak oleh kebutuhan ekonomi. Tentunya setiap orang mengharapkan kehidupan yang lebih baik dan layak. Begitupun seorang jurnalis. Ya atau tidak, terserah bagaimana anda menjawabnya.

Ketika mulai memasuki dunia pers dan jurnalis penulis pernah mendapat kritikan dari seorang teman mahasiswa pergerakan yang sampai sekarang masih suka “demo” memberikan kritikan dan hujatan terhadap pemerintah. Beliau bilang bahwa idealisme saya sebagai mahasiswa telah tergadaikan dan hilang, karena beliau menganggap bahwa saya telah menjadi mahasiswa pengecut yang tidak berani bersuara di jalanan dengan melakukan aksi demonstrasi.

Penulis hanya bisa tersenyum mengiyakan kritikan tersebut dan dalam hati penulis bertanya “emang idealisme itu seperti apa dan harus bagaimana supaya tidak hilang?”.
 
Stop Menghujat
Lebih baik kita berhenti menghujat (kepada siapapun), karena belum tentu kita bisa lebih baik dari orang yang kita hujat.

Di ANTARA penulis mendapat pelajaran tentang bagaimana memberi masukan tetapi tidak harus memaksa supaya orang yang diberi kritikan atau masukan mengikuti apa yang kita katakan. Setiap generasi mempunyai tantangan dan permasalahan yang berbeda dan tentunya setiap permasalahan diselesaikan dengan cara yang berbeda pula.

Generasi kita (kaum muda) dengan mereka yang sekarang menjadi pemimpin (orang tua) pastinya mempunyai pandangan yang berbeda terhadap sebuah permasalahan, dan tentunya cara penyelesaiannya pun akan berbeda pula, tidak bisa mereka harus mengikuti cara kita. Biarlah mereka menggunakan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan masalah, terutama permasalahan yang menimpa bangsa dan negara ini. Kasihan mereka kalau harus terus-menerus menerima kriitikan dan hujatan (mending kalau kritikan kita membangun), kapan mereka kerjanya buat ngurus bangsa dan negara ini?

Tugas dan kewajiban kita sebagai kaum yang katanya Intelek adalah memberikan masukan, bukan menghujat. Tapi kita juga harus ingat, masukan yang kita berikan kepada mereka bukan berarti harus dipaksakan supaya diikuti. Hak pakai ada pada mereka. Mau dipakai ataupun tidak, bukan urusan kita.

Kata Siapa Saya Tidak Idealisme?
Argumen santun penulis untuk meng-kick balik mereka yang berkata bahwa idealisme penulis sudah luntur bahkan hilang adalah dengan mengembalikan makna idealisme itu sendiri.

Idealisme berasal dari kata ideal yang mendapat tambahan isme. Ideal adalah sesuai atau pas, sedangkan sebuah kata jika diakhiri oleh imbuhan isme, akan menjadi sebuah aliran atau jalan. Berarti, Idealisme adalah sebuah sifat yang mengharuskan kita sesuai atau pas. Sesuai dan pas dengan siapa? Ya sesuai dan pas dengan keadaan kita masing-masing, Karena kita mempunyai keadaan yang berbeda. Prinsipnya, saya bukan anda, dan anda bukan saya.

Anda yang mahasiswa, silahkan anda ber-idealisme layaknya mahasiswa, anda yang pers atau jurnalis silahkan anda ber-idealisme layaknya pers atau jurnnalis dan mungkin anda yang koruptor, silahkan anda ber-idealisme layaknya koruptor itu seperti apa.

Jadi mereka yang menganggap bahwa penulis sudah tidak lagi memiliki idealisme, itu salah besar. penulis masih tetap idealis, tapi tentunya dengan idealisme yang sekarang, bukan bukan yang dulu.

Satu hal yang mungkin sebagai renungan untuk para mahasiswa yang merasa dirinya mahluk yang paling memiliki idealisme. Manusia adalah mahluk yang tidak diam dalam satu martabat, manusia adalah mahluk yang terkena oleh perubahan, sifat manusia akan selalu berbeda dan berubah. Apalagi mereka yang mengaku sebagai Politikus, janji pagi tidak akan terpakai di sore hari, dan janji sore tidak akan terpakai di malam hari. Kurang lebih seperti itulah filosofinya.

Mengutip perkataan salah seorang teman di kantor tatkala dirinya dikatakan sudah tidak lagi idealis oleh seorang teman mahasiswa di kampusnya. “Adakalanya Idealisme akan berbenturan dengan realita, dan buat saya sendiri, adalah menjalani realita yang ada dengan idealisme yang ada”. Artinya, jalanilah kehidupan ini dengan tugas dan fungsi kita sebagai apa dan berperan sebagai siapa.

Terakhir penulis mengajak, mari kita belajar untuk lebih santun dalam memberikan masukan ataupun kritikan. Manusia memang dituntut untuk kritis dalam menillai sebuah permasalahan. Tapi ingat, kritis bukan berarti harus dengan hujatan ataupun cacian apalagi sampai merusak fasilitas yang ada. Ruginya negara ini, berarti kerugian juga buat kita sebagai penghuninya. Wallahu’alam.

Adi Fikri Humaidi
Jakarta, 13 Desember 2010

No comments:

Post a Comment

LightBlog