LightBlog

Sunday, August 26, 2018

Menumbuhkan Jiwa Kerelawanan



Oleh : Adi Fikri Humaidi

Saya ingin memulai tulisan saya ini dengan kisah sayyidina Ali bin Abi Thalib RA. Saat menggantikan posisi Rasulullah SAW ditempat tidur dan mengecoh kaum kafir Quraisy yang waktu itu sudah bersiap membunuh Rasulullah ditempat tidurnya. Kaget kaum Quraisy pada waktu itu ternyata orang yang mereka incar sudah hilang dan berganti rupa menjadi Sayyidina Ali.

Apa yang mendorong Sayyidina Ali berani melakukan itu, dan rela menggantikan posisi Rasulullah SAW, padahal waktu itu taruhannya nyawa? Penulis yakin, kalau bukan karena jiwa ksatria yang dimiliki Sayyidina Ali dan rasa sayangnya kepada Rasulullah SAW mustahil Sayyidina Ali mau melakukannya.

Kembali ke soal kerelawanan, secara umum kerelawanan adalah segala bentuk bantuan yang diberikan secara sukarela untuk membantu atau menolong sesama. Sedangkan relawan adalah seseorang yang sukarela meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan keahliannya untuk menolong sesama yang sedang membutuhkan.

Pada dasarnya, sifat kerelawanan itu dimiliki oleh setiap manusia, khususnya oleh orang Indonesia yang terkenal dengan sifat ramah, santun serta memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Bahkan sifat-sifat tersebut sering diajarkan di setiap jenjang pendidikan kita dan selalu ditekankan harus di amalkan dimanapun  dalam setiap aktivitas kita.

Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA. Rasulullah SAW bersabda; “Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah SWT akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutup aib seorang muslim, pasti Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hambaNya selama hambaNya itu suka menolong saudaranya”.

Tidak ada lagi alasan, khususnya kita umat Muslim untuk tidak peduli terhadap penderitaan dan kesusahan saudara kita sesama manusia. Apalagi islam sendiri menekankan setiap penganutnya untuk bersikap tawazun (seimbang) dalam arti, baik kualitas hubungannya dengan Allah, juga baik kualitasnya dengan sesama manusia.

Menjadi Relawan Kemanusiaan
Saat ini penulis sedang bertugas menjadi relawan kemanusiaan ACT di Lombok. Melihat langsung bagaimana kondisi Lombok saat ini dimana banyak orang datang dari berbagai kalangan juga utusan mengirimkan bantuannya untuk Lombok, membuat penulis yakin bahwa ini adalah modal besar yang dimiliki bangsa Indonesia yaitu sifat solidaritas dan rasa kemanusiaanya yang sangat tinggi kepada sesama, terlebih untuk bangsanya sendiri.

Ribuan orang bahkan sulit terhitung jumlahnya tanpa perlu menunggu komando, atau menunggu status Lombok akan ditetapkan menjadi bencana nasional atau tidak oleh pemerintah Indonesia, langsung bergerak menyalurkan bantuannya baik secara langsung ataupun melalui lembaga kemanusiaan yang terpercaya untuk mengirimkan bantuan ke Lombok. Tentu sifat seperti ini akan sulit hadir jika bangsa ini memiliki sikap egois yang tinggi yang mengatakan, masalahku ya masalahku, masalahmu itu masalahmu. Menghilangkan sejenak keegoisan karena perbedaan pilihan politik, apalagi di tahun politik seperti sekarang ini ternyata bisa dilakukan oleh kita dengan terfokus kepada satu masalah utama yang harus diselesaikan yaitu. Membangun Lombok kembali.

Sifat Dasar Relawan
Kalau kita membuka kamus Bahasa Indonesia kita akan menemukan pengertian relawan adalah orang yang  melakukan sesuatu dengan sukarela (tidak karena diwajibkan atau dipaksakan). Sedangkan,  dalam kamus Oxford, definisi  relawan (volunteer) hamper serupa maknanya dengan yang ada di kamus Indonesia, te rdapat dua pengertian tentang kata relawan, yaitu yang pertama “A person who freely offers to take part in an enterprise or undertake a task” dan yang kedua “A person who works for an organization without being paid”.

Pengertian atau makna yang pertama hampir sejalan dengan pengertian yang terdapat dalam kamus Indonesia, sedangkan pengertian yang kedua menjelaskan bahwa relawan itu bekerja tanpa transaksional atau tanpa peduli transaksi  materi (uang).

Jika mengacu ke dua kamus tersebut kita bisa mengambil kesimpulan bahwa relawan itu memiliki sifat dasar yang sama yang bisa tercermin kedalam perilaku dan tindakannya. Perilaku dan tindakan yang di dorong oleh rasa kepedulian yang besar terhadap kesusahan orang lain.

Sifat dasar itulah yang mampu memulihkan Aceh pasca tsunami yang begitu dahsyat pada 26 Desember 2004 lalu. Dan tentu penulis berharap dengan sifat kerelawanan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, Lombok juga bisa segera pulih pasca berturut-turut di goncang dengan musibah gempa bumi.

Kita lupakan sejenak perdebatan mengenai segala hal, perbedaan pilihan siapa calon presiden kita ataupun perdebatan mengenai status Lombok mau dibuat status bencana nasional ataupun tidak. Biarlah itu suka-suka mereka yang memang ahli untuk memutuskan. Sekarang mari kita sentuh hati kita masing-masing, masih adakah rasa kemanusiaan yang hadir dalam seonggok daging yang Allah anugerahkan dalam tubuh ini, yaitu hati. Jika masih ada, hentikan perdebatan, mari bergandengan tangan untuk segera menuntaskan masalah kemanusiaan yang sedang hadir menguji bangsa Indonesia.

Kita yang bisa menyumbangkan harta, silahkan sumbangkan harta terbaiknya, kita yang mampu menyumbangkan tenaga dan keahlian mungkin bisa mengajukan diri kepada lembaga legal yang siap memberangkatkan kita ke Lombok, atau kita yang hanya bisa berdo’a, mari kita lantunkan do’a-do’a terbaik untuk saudara-sauadara kita di Lombok.

Kerelawanan dan Kepahlawanan
Kerelawanan dan kepahlawanan memiliki kaitan yang sangat erat. Itu karena sifat-sifat kerelawanan pasti dimiliki oleh mereka para pahlawan, baik pahlawan-pahlawan kita dahulu yang sudah berjuang memerdekakan Indonesia ataupun pahlawan masa kini yang berjuang untuk mengharumkan Indonesia. Setiap kita bisa menjadi pahlawan. Bahkan untuk hal-hal yang tidak terduga sekalipun. Karakter kepahlawanan di contohkan oleh Yohanes Ande Kala, bocah SMP di Silawan Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang melakukan aksi heroik memanjat tiang bendera saat tali untuk mengikat bendera yang akan di kibarkan oleh Paskibraka putus dan nyantol di ujung tiang bendera. Yohanes dengan cepat merespon permintaan wakil Bupati Belu, J.T Ose Luan, “Tolong cari anak-anak yang bisa panjat untuk ambil ujung talinya” serunya dari atas podium.

Tanpa memikirkan keselamatan dirinya dan juga imbalan apa yang nanti akan dia terima, Yohanes langsung memanjat tiang bendera. Sampai saat ini aksinya tersebut tidak berhenti menuai pujian dari banyak orang yang menyaksikan aksinya melalui media sosial.

Aksi Yohanes tersebut tidak ubahnya seperti kisah sayyidina Ali bin Abi Thalib RA. Yang saya tulis di awal tulisan ini. Sayyidina Ali pada waktu itu langsung mengambil peran ketika kesempatan kepahlawanan itu datang kepadanya. Tidak memikirkan keselamatan dirinya apalagi memikirkan imbalan apa yang akan diterima olehnya nanti.

Jadi kesimpulannya, kita bisa menghadirkan momen kepahlawanan dalam diri kita dengan cara menciptakan sifat dan karakter relawan dalam setiap ucapan dan tindakan kita sehari-hari. Bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar seperti sekarang ini itu karena rasa yang terus dipupuk sampai saat ini, yaitu rasa kesatuan dan persatuan. Sulitnya penjajah memecahbelah bangsa ini karena persatuan dan kesatuannya, ditambah sifat kasih sayang dengan sesama yang begitu besar.

Mari kita hadirkan rasa persaudaraan di bumi Indonesia. Tidak ada alasan untuk tidak bersatu. Sekarang momennya. Lombok mau kita hadir memberikan sumbangsih terbaik kita. Terakhir, penulis ingin menutup dengan kalimat sayyidina Ali bin Abi Thalib yang sangat popular dan pas untuk kita saat ini. “Yang bukan saudaramu seiman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan,”.

*Penulis adalah Relawan Kemanusiaan MRI ACT Banten yang sedang bertugas di Lombok.     





No comments:

Post a Comment

LightBlog